Jakarta – Klaim pemerintah yang menyebut kapasitas produksi food tray (nampan makan) dalam negeri hanya mencapai 12 juta unit per bulan, yang dijadikan alasan utama untuk membuka keran impor, mendapat bantahan keras dari para pelaku industri lokal. Para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi manufaktur menegaskan bahwa angka tersebut tidak akurat dan secara drastis meremehkan kemampuan riil industri nasional.
Pernyataan kontroversial mengenai keterbatasan kapasitas lokal sebelumnya dilontarkan oleh pemerintah sebagai justifikasi atas terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang melonggarkan impor food tray dari China. Kebijakan ini diambil untuk memenuhi kebutuhan masif program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diperkirakan mencapai 80 juta unit. Pemerintah berdalih, tanpa impor, program berisiko terhambat karena pasokan dari dalam negeri tidak akan mencukupi.
Namun, narasi “lokal tak mampu” ini langsung dipatahkan oleh Asosiasi Pengusaha Manufaktur Peralatan Dapur Indonesia (Apmaki). Sekretaris Jenderal Apmaki, Ali Chandrawan, menjadi salah satu suara paling vokal yang menyatakan bahwa industri dalam negeri tidak hanya siap, tetapi juga telah berinvestasi besar untuk menyambut program strategis nasional ini.
“Data 12 juta unit itu dari mana? Kami di asosiasi sudah melakukan pendataan, dan kapasitas terpasang dari anggota kami jauh melampaui angka itu. Kami siap membuktikannya,” ujar seorang perwakilan pengusaha dalam sebuah pernyataan.
Menurut Apmaki, banyak anggotanya yang telah secara proaktif membeli mesin-mesin baru dan menyiapkan lini produksi khusus untuk mendukung program MBG. Investasi yang nilainya ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah tersebut kini terancam sia-sia akibat kebijakan impor yang dinilai “menusuk dari belakang”.
“Kami ini sudah siap tempur. Beri kami kepastian pesanan (Purchase Order), mesin kami bisa jalan 3 shift, 24 jam sehari. Kapasitas kami bisa mencapai jutaan unit per hari, bukan per bulan,” tegas salah satu anggota Apmaki.
Bantahan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai validitas data yang digunakan pemerintah sebagai dasar pengambilan kebijakan. Para pengusaha menduga pemerintah hanya melihat data produksi historis di masa lalu, di mana permintaan memang tidak pernah sebesar ini, dan mengabaikan kapasitas potensial serta investasi baru yang sudah dilakukan.
Kritik tidak hanya datang dari sisi kapasitas. Kebijakan impor ini juga membuka celah bagi masuknya produk berkualitas rendah yang tidak terjamin keamanannya (food grade) dan kehalalannya, seperti isu penggunaan minyak babi sebagai pelumas yang kini tengah ramai diperbincangkan.
Anggota Komisi VI DPR RI, yang membidangi industri dan perdagangan, juga menyayangkan langkah pemerintah. Mereka mendesak pemerintah untuk melakukan verifikasi ulang data kapasitas nasional secara transparan dan memprioritaskan produk dalam negeri.
“Ini ironis. Untuk produk yang relatif sederhana seperti nampan makan, kita harus impor. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk membangkitkan industri kecil dan menengah di dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan uang negara berputar di ekonomi domestik,” ujar seorang anggota dewan.
Dengan adanya bantahan keras dari para pelaku industri, bola kini berada di tangan pemerintah. Publik menantikan apakah pemerintah akan meninjau ulang kebijakannya, membatalkan rencana impor, dan memberikan kepercayaan penuh kepada kemampuan anak bangsa untuk menyukseskan program Makan Bergizi Gratis.